Tahun 2014 bagi negara kita dikenal sebagai tahun politik.
Karena pada tahun inilah terjadi regenerasi para wakil rakyat untuk melaksanakan
tugas mulia melalui Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang Langsung Umum Bebas
dan Rahasia, Jujur dan Adil (Luber Jurdil). Agenda ini digadang-gadang akan
menjadi pesta demokrasi rakyat Indonesia
terakbar dan termahal yang akan diselenggarakan tanggal 9 April 2014.
Dengan terpilihnya wakil rakyat melalui pileg ini, harapan
rakyat agar aspirasinya didengar, dikompromikan melalui sidang para wakil
rakyat yang terhormat, dan akhirnya dihasilkan kebijakan-kebijakan yang pro
rakyat. Rakyat yang lemah, miskin dan terlantar bisa diberikan penghidupan yang
layak. Sedangkan rakyat yang merasa berkuasa dan kaya raya, tidak semena-mena
menindas rakyat kecil. Penegakan hukum yang tidak berat sebelah, kehidupan yang
aman, tenteram dan sejahtera. negeri bebas narkoba dan koruptor, dan jutaan
pengharapan lainnya.
Seperti pengalaman pemilu yang sebelum-sebelumnya, disadari
atau tidak masyarakat kita secara otomatis akan terpecah menjadi dua golongan
besar, golongan besar pertama adalah masyarakat yang optimis dan proaktif
mensukseskan pemilu, dan golongan besar kedua adalah masyarakat yang pesimis
dan apatis apapun itu tentang pemilu. Berbagai daya tarik sudah dilakukan,
mulai dari pagelaran hiburan dan orasi partai politik untuk memenangkan calon
legislatifnya, sampai dengan "money politic"
alias memberikan “sesuatu ” dengan pamrih agar dia (baca: caleg) disukai dan dipilih
oleh masyarakat.
Setiap orang memang dibebaskan untuk berpendapat, UUD 1945
pun disebutkan. Disaat pemerintah dan media massa dengan memberitakan perkembangan
pemilu, tetapi jika ada golongan masyarakat yang benar-benar apatis, maka apalah
artinya pemilu yang meghabiskan dana milyaran rupiah itu. Belum lagi
masalah-masalah yang muncul selama masa kampanye hingga penetapan pemenang
pemilu. Banyak caleg yang gagal dan protes tidak puas terhadap kinerja KPU.
Sampai dengan kasus caleg yang mendadak mendapat gangguan yang harus mendapatkan perawatan medis di rumah sakit. Sungguh miris
kelihatannya.
Meskipun demikian, jangan selalu salahkan rakyat kalau
bertindak apatis, ini bukan karena penyelenggaraan pemilunya. Bukan pendidikan
mereka yang kurang mumpuni di bidang politik dan pemerintahan. Atau kurangnya
sosialisasi dari pemerintah. Ini hanya dikarenakan masyarakat sudah “terlalu
pandai” membaca karakter dari para calon pejabat yang notabene kurang
dikenalnya itu.
Sebagai warga negara, karena sudah menjadi amanat dari undang-undang,
mau tidak mau, siap atau tidak siap pemilu legislatif harus terlaksana dan harus
diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia yang terdata di Daftar
Pemilih Tetap (DPT) KPU setempat. Kini masyarakat dituntut lebih bijak
menghadapi pileg tanggal 9 April besok. Pertayaannya sekarang, siap(a)-kah menjadi
pemilih bijak?
Retorika tersebut memiliki 2 maksud, ada kata siap dan
siapa. Pertama siap dalam arti kesediaan menanggung segala risiko yang
terjadi sebelum, menjelang, dan setelah pileg 2014. Bagi caleg: siap bermakna 2
hal, siap menang dan bertanggung jawab menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya
siap kalah dan menerima secara legawa. Sedangkan siap bagi
pemilih adalah siap dipimpin oleh pejabat semacam itu dengan segala kebaikan
dan keburukannya, atau paling tidak siap merelakan waktunya yang sangat
berharga sebab perolehan pundi-pundi uang menjadi hilang/tertunda hanya karena
harus datang ke TPS.
Sedangkan siapa yang menjadi pemilih bijak adalah Saya dan
para pembaca sendiri dalam memberikan suara. Apapun hasilnya nanti, kita tidak
memiliki alasan untuk tidak memilih. Tidak ada alasan kita untuk tidak datang
ke TPS. Inilah hakikat seorang pemilih bijak.
Ada
empat tipe pemilih dalam pileg nantinya, pertama, tipe pemilih idealis, yaitu
pemilih yang benar-benar memiliki visi bahwa calon yang akan dipilihnya ini layak
dan mampu menjadi seorang pemimpin. Tipe kedua adalah pemilih yang sekedar
menggugurkan kewajiban, tipe ini sarat akan kepentingan, dia akan datang karena
memiliki beban tanggung jawab atas “sesuatu” yang diberikan kepadanya. Tipe
ketiga yaitu pemilih kebingungan, pemilih yang seperti ini terjadi ketika masuk
ke bilik suara merasa bingung memilih siapa padahal tak ada satupun yang
dikenalnya, dan akhirnya dia akan memilih salah satu secara acak diawali dengan
doa. Tipe keempat, adalah pemilih yang memilih untuk tidak memilih. Tidak
memilih itu sejatinya merupakan suatu pilihan. Dia datang ke TPS tetapi tidak
memilih satupun caleg yang ada, memang ada seribu satu alasan mengapa demikian.
Kita wajib menghargai tipe pemilih seperti itu. Tetapi setidaknya mereka yang
tergabung dalam empat tipe pemilih itu benar-benar bertanggung jawab memenuhi
kewajibannya sebagai warga negara yang diundang.
Solusinya hanyalah satu, belajar untuk saling menghargai.
Pemerintah sudah menggelontorkan dana pemilu yang tidak sedikit, apalagi para
caleg yang sudah mengerahkan rayuan “gombal gambil”-nya agar masyarakat
memilihnya, dan yang terpenting, pemilih yang kian hari semakin cerdas karena
informasi yang mereka dapat melalui media. Semoga semua pihak yang disebutkan
tadi semakin bijaksana. Sehingga Pemilu Legislatif 2014 yang digadang-gadang
menjadi pesta demokrasi termegah dan termahal di seantero dunia ini dapat
berjalan dengan lancar dan menghasilkan para pemimpin yang amanah dan
profesional tentunya.
Post a Comment